Wirajuda



Purnama kali ini sangat terang. Bulat penuh, putih kebiruan. Hassan bisa puas menatapnya dari kaca jendela bis malam yang ia naiki. Sudah hampir berganti hari, tapi ia belum juga bisa tidur, mengantuk pun tidak. Ia melirik pria paruh baya yang duduk di sebelahnya. Ternyata sudah berpindah. Berpindah ke alam mimpi. Bosan Hassan memandangi purnama, ia menutup matanya. Mencoba untuk tidur. Detik 1, detik 2, dan di detik ketiga ia membuka matanya kembali. Menatap purnama lagi. Pikirannya kini melukis memori tentang Wirajuda, sepupu yang akan menjemputnya esok pagi di terminal Lebak Bulus.


Aku memanggilnya Mas Yuda. Ia piatu sejak lahir, ibunya meninggal saat melahirkannya. Tiga tahun kemudian, bapaknya kecelakaan motor. Motor lawan truk. Meninggal seketika. Setelah itu, Mas Yuda tinggal dengan Pakdhe Emil, istri, dan kedua sepupunya; Mbak Yulia dan Mas Rahman. Aku sendiri, anak satu2nya dari adik Pakdhe Emil. Mas Yuda biasa memanggil bapakku, Pakle’ Salim.

Mas Yuda adalah anak yang tidak bisa diam. Mental tal-til-tul, grasak sak-sik-suk. Ketika Mas Yuda umur empat tahun, kata Bapak, Mas Yuda pernah jatuh ke dalam sumur. Syukurlah, Mbak Yulia dan Mas Rahman yang sedang main petak umpet dengannya cepat minta pertolongan. Tidak luka, hanya syok saja. Tidak sampai tiga tahun, Mas Yuda jatuh lagi. Kali ini dari pohon mangga depan rumah. Sendinya mengslok. Katanya ia menangis dan teriak tidak karu2an. Aku diceritakan Bapak. Karena waktu kejadian itu, aku belum menyadarinya. Ohya, usiaku beda lima tahun dengan Mas Yuda.

Ketika usiaku lima tahun, Mas Yuda dan Mas Rahman mengajakku untuk memetik mangga. Tugas Mas Yuda dan Mas Rahman naik dan memetik mangga, sedangkan tugasku menangkap mangga yang mereka lempar. “Tidak boleh jatuh. Nanti bonyok!” Mas Rahman mengingatkan.

Kami berhasil dapat 18 mangga. “Kamu empat mangga aja ya, San. Kan kamu cuma nungguin di bawah. Gampang.” Kata Mas Rahman. Aku hampir saja mengangguk ketika Mas Yuda menyergah, “Bagi adillah, Man. Nangkep dan manjat itu sama pentingnya. Lagian kalo Hassan ga berhasil nangkepin mangganya kan mangga kita pada bonyok. Bagi adil, ya. Aku enam, kamu enam, Hassan juga enam.” Mas Yuda memang beda.

Mas Yuda tumbuh bersama kami. Sikap dan pikirannya sering berbeda dari anak2 kebanyakan. Ia juga anak yang keras; keras kepala, keras kemauan, termasuk keras pada dirinya sendiri. Bagaimana tidak? Pagi dia sunat, siangnya njebur di sungai, sorenya main bola. Aduh.. apa kabar asetnya?

Pun ketika lulus2an SMP, ia keukeh untuk tidak ikut patungan 10ribu rupiah bersama teman2nya untuk bocoran UAN. “Ah… mending buat beli tamiya dibandingkan bocoran.” Ia tau pasti yang namanya rezeki sudah ditetapkan, tinggal menjemputnya. Garis bawah : menjemputnya, bukan mencurinya. Ah, Mas Yuda lagi2 berbeda.

Itu Mas Yuda yang dulu kukenal. Begitu lulus SMA, ia yang keras kemauan, keukeh ingin kuliah walau Pakdhe Emil bilang tidak sanggup membiayai. Dan setelah berusaha sana-sini, ia berhasil masuk sekolah kedinasan di ibukota. Gratis! Biaya hidupnya selama di ibukota? Masih dikirimi sama Pakdhe Emil walau sangaaat terbatas. Makdarit, Mas Yuda ngajar privat malam2. Setiap hari. Lumayan, katanya. Ga bikin harus puasa daud. Ia terus bertahan dan tiga tahun kemudian: LULUS! Tapi karena tidak mampu bayar uang wisuda, ia tidak bisa ikut wisuda. Tidak apa. Tidak begitu penting, katanya. Yang penting, setelah ini ia akan langsung dapat pekerjaan.

Bagaimana denganku? Setelah aku lulus SMA, aku melanjutkan kuliah di salah satu sekolah tinggi ekonomi di kota ini, Kebumen. Sudah dua tahun ini aku lulus. Tapi sekolahku bukan sekolah kedinasan, jadi aku harus lamar kerja sana-sini. Pernah aku diterima kerja di sebuah perusahaan, tapi ajigile.. Berasa kerja bakti RT! Capeknya pake banget, tapi cuma digaji air teh. Hm.. sedikit maksudnya. Maka, kuputuskan berhenti. Sampai sekarang masih dalam status mencari pekerjaan.

Bulan lalu, bertepatan dengan libur Idul Adha, Mas Yuda pulang kampung. Ia membawa istri yang baru ia nikahi tiga bulan lalu. Istrinya lebih muda tiga tahun dariku. Iya, muda sekali. Bikin aku bingung saja mau manggil Mbak atau Dek. Kemarin waktu kutanya, “Gimana nikah, Mas? Masih muda banget mbakyuku…”

“Bahagia, San. Ia bisa membuatku merasa jadi laki2 paling ganteng walo hidungku mblasuk ngene. Membuatku merasa jadi laki2 paling kaya walo jalan kemana2 mesti naik KRL. Membuatku merasa jadi laki2 paling keren… Membuatku merasa jadi laki2 paling penyayang walo kamu tau sendiri emosi masmu ini sumbu pendek.” Jawaban Mas Yuda bikin aku pengen cari istri aja daripada cari pekerjaan.

Sore sehari sebelum Mas Yuda dan istri kembali ke Ibukota, aku, bapak, Pakdhe Emil, dan Mas Yuda duduk2 santai sambil ngeteh dan makan gorengan pisang dan singkong…  

Bapak: "Yud, bantulah si Hassan untuk masuk ke Keuangan juga. Kamu kan orang dalem. Gimanalah caranya. Biar berhasil juga kaya kamu."
Mas Yuda: "Paklek.. Paklek setuju ga sama KKN?"
Bapak: "Ga setujulah. Lah kenapa?"
Mas Yuda: "Ya, masa’ Paklek ga setuju sama KKN, tapi malah nyuruh saya KKN…"
Bapak: "Yaa… gimanalah. Apa dikasih info2 lowongan kerja dimana gitu. Biar Hassan bisa kerja enak juga kaya kamu."
Mas Yuda: "Gini aja, Paklek… Hassan biar tinggal sama saya aja di Jakarta sementara ini. Cari kerja di sana."

Hari sudah berganti. Namun, purnama masih saja perkasa terangnya. Hassan tersenyum mengingat kejadian bulan lalu. Mas Yuda tidak berubah. Ibukota tidak merubahnya. Tetap pribadi yang berbeda. Kali ini Hassan berusaha masuk lebih dalam dari makna perkataan masnya. Sering manusia teriak, “Pelaku KKN adalah penjahat!!” tapi seringkali untuk keuntungan pribadi, manusia tidak menyadari (atau memaafkan?) tindakan KKN yang mereka lakukan.

Hassan tercenung. Pernah ia ikut demonstrasi “Tolak KKN! Tegakkan Supremasi Hukum!” di depan gedung DPRD kotanya. Padahal ia bolos kuliah. Lebih parah lagi, ia menitip tanda tangan kepada temannya yang ikut kelas. Ia telah berlaku curang. Ia telah berlaku tidak jantan. Demo tolak KKN, tapi malah curang nitip absen. Demo tegakkan supremasi hukum, tapi dirinya tidak kalah pengecutnya dari yang ia demo.
Memang, ya… bau ketiak orang lain lebih mengganggu daripada bau ketiak diri sendiri. Udah ga malu, enak banget lagi nuduh orang lain bau. Hm… Mungkin jika manusia malu mengganggu manusia lain dengan bau ketiaknya, sepertinya tidak akan ada lagi bau ketiak yang akan manusia cium di dunia ini.
Hassan mencium ketiaknya serta-merta. Kanan lantas kiri. “Alhamdulillah, ga bau.” Ia tersenyum lagi, lalu menarik selimutnya lebih tinggi, AC di bis malam itu kian dingin.

#postingan nunggu suami pulang kantor.

Komentar

  1. kunjungan pertama namun menggugah...

    semoga hal terakhir yang ibu/mbak (???)(soalnya saya juga akan 22 tahun bulan ini he-he-he) tulis itu membuat saya berpikir : begitukah pendamping hidup saya nantinya?

    "#postingan nunggu suami pulang kantor"

    BalasHapus
  2. @affan: semoga :) semoga Allah memberi affan istri yg baik, yg snantiasa brusaha mmbuat suaminya nyaman dan berharga :) aamiin.

    @16 sep : wah, aku kurang berhasil brarti di postingan ini. semoga tetap bermanfaat ya.

    BalasHapus
  3. met pagi..:) keren ya menunggu suami plg dapat menulis sebagus ini :)

    BalasHapus
  4. @ammie : shobbahul khayr. trm ksh, ammie. inspirasinya jg dari yg ditungguin pulang :)

    @zach : bukan, zach. aku tangerang, suami banyumas.

    BalasHapus
  5. wah keren cerita :), eh rumah baru kerennnnnnnnnnnnnnnnnn selalu betah di lapak ini :)

    BalasHapus
  6. namun kadang-kadang ada yang berada di persimpangan, dilemma ... bagus sekali tulisannya, sungguh menginspirasi. :D. Mulki, tampilannya berasa beda ya?

    BalasHapus
  7. @kak tia dan kak nurin: iya.. sering sekali kita di persimpangan. kalo udh kaya gitu, tanya hati sajalah. iyaaa.. tampilan baruuu. mood baru. pingin warna2 bayi; pink baby blue pale yellow. hihi.

    BalasHapus
  8. "kisahnya menarik sekali,, n menggugah diriku.. :)
    keep istiqomah dalam kebaikan...
    dalam dakwah...

    BalasHapus
  9. hehe . .ceritanya keren mbak.
    pelajaran hidupnya dapet.
    :)

    salam kenal ya, kalau berkenan silakan mampir ke faizulfikri

    BalasHapus
  10. Saat sepasang bola mata ini menelusuri setiap untaian katanya, sejenak terhenti di bagian ini:
    "Ia tau pasti yang namanya rezeki sudah ditetapkan, tinggal menjemputnya. Garis bawah : menjemputnya, bukan mencurinya".
    Dan klimaksnya pada bagian ini:
    "Ibukota tidak merubahnya". Nonjok banget mba Mulki! :D

    Sesaat kembali memutar memori, mengantarkanku pada sedikit analisa otak kiriku dahulu.. Dunia kampus, dan dunia "nyata" sangat terlihat berbeda. Dalam ruang kampus, betapa banyak pribadi yang mengobarkan, menegaskan dan "mengagungkan" akan hal-hal yang hakiki, hal-hal yang "seharusnya". Namun, beranjak keluar dari dunia kampus, waktu seakan menjadi musuh dalam selimut yang berusaha meleburkan keyakinan itu. Sekuat itu kah pengaruh di luar sana? Dari sekian ribu cetakan sarjana itu, hanya segelintir kah yang memilih menjadi seperti karang? Yang kutahu, dalam gelap pasti ada cahaya di sana.. Dalam pahit, pasti ada manis disana..

    Haha.. Kunjungan perdana dan komentar ngawur dariku mba Mulki. :D

    BalasHapus
  11. @akh joko : aamiin. trm ksh sudah mampir :)

    @faizul : yo, segala puji hanya bagi Allah.

    @mas arya : ah, ga ngawur kok, mas. mantap :D

    BalasHapus
  12. ya Allah semoga kelak nanti saya bisa dapat suami seperti mas huda. yg sgt menghargai istri dan amin nanti sy bisa punya sikap seperti istri mas yuda :)

    BalasHapus
  13. assalamualaikum...mampir dan menyimak..klo brbicara ttg yg sensitif ini memang kt lbh pintar menilai yg agak jauh dr hidung kita padhal ketiak kita lebih dkt ..

    #msh 22 tahun tp dah nikah ya??hueebatt..salam kenal dgn bro heri jg..sy 25 br memutuskan nikah hehehe

    BalasHapus
  14. Ah, aku hanyut mbak.
    Perkaya diri bukan dengan sibuk gonjang-ganjing omongan, melainkan rasa yang membaikkan perkataan dan perbuatan :D

    BalasHapus
  15. ceritanya luar biasa sekali..
    sehingga diriku, tak bisa mengungkapkan apa yang terkandung didalam lantunan ceritanya..
    Pokonya is the best..
    I like it...

    BalasHapus
  16. @nisa : aamiin. insya Allah diberikan yg terbaik oleh Allah.

    @dhymalk : hehe. kapan pun itu semoga sm2 samaranya ya, mas.

    @galih : aih, mantap :)

    @lukman : ya ampun aku payah bgt ya smp lukman ga ngerti apa yg dikandung di sini. hiks2.

    BalasHapus
  17. Ini bagian dari novel kamu, Mulk?
    Keren,...

    BalasHapus
  18. Fotonya kok bokeh semua... hehe.. blognya dah ku follow#270 follbek ya.. salam kenal..

    BalasHapus
  19. @abu haniya: hehe. hikshiks. huwaaaaa.. nyindir mulu nih suaminya mbak son.

    @didin: trm ksh :)

    BalasHapus
  20. yah..gak jadi ardianus ihsan tokoh utamanya

    *pulang ah...

    BalasHapus
  21. hmmm...., inspiratif sekali
    bau ketiak orang lain lebih bau daripada bau ketiak diri sendiri....

    BalasHapus
  22. kunjungan perdana nih Bu ;)

    BalasHapus
  23. @mas ichsan: dih gitu dah. haha.

    @mahabbah: huum. sadar diri ternyata tdk mudah.

    @androes: trm ksh sudah mampir :)

    BalasHapus
  24. Super sekali. Hemm, kunjungan pertama mbak. Salam kenal.

    BalasHapus
  25. Hemm, ini saya yang komen tadi mbak. Kunjungan balik ya.

    BalasHapus
  26. @abu zaid : trm ksh sdh mampir :) slm kenal jg.

    @ardika : insya Allah.

    BalasHapus
  27. wah, sambil nunggu laki, eh... malah dapet inspirasi! hebat nih mbak.
    btw, mblasuk ngene itu pesek ya maksudnya?

    BalasHapus
  28. salam gan ...
    menghadiahkan Pujian kepada orang di sekitar adalah awal investasi Kebahagiaan Anda...
    di tunggu kunjungan balik.nya gan !

    BalasHapus
  29. @bung penho: iya... haha. tapi suami sy ga pesek loooh. proporsional. hehe

    @outbound : maturnuwun :)

    BalasHapus

Posting Komentar

terima kasih sudah membacanya :D dan terima kasih sudah mau komen. hehe...

Postingan populer dari blog ini

Lagi Galau?

Mengelola Keuangan Keluarga #4 : Tabel Pemasukan - Pengeluaran

Resume Buku Personality Plus