“Wuih, Pak Boss datang. Mana mobilmu, Her? Katanya sudah sukses.” “Her, di sana itu lho, dijual sawah sekulin (sebuah satuan ukuran sawah yang saya pun tidak tau tepatnya berapa meter persegi), harganya 300juta. Belilah. Si X baru saja beli sawah sekulin di utara jalan itu. Sukses beneran dia.” “Kebonmu itu mbok dibangun rumah, Her.” Semuanya diucapkan dalam bahasa daerah Banyumas, lengkap dengan logat kebangsaan mereka sebagai bangsa ngapakers. Sekiranya, itulah sebagian penggalan yang bisa saya tangkap dari sambutan hangat para tetangga suami saya di tanah kelahirannya, Banyumas. Saya hanya bisa melempar senyum, semoga bukan jatuhnya senyum kecut. Betapa saya ingin membabibu mereka tentang abc-nya hidup, tapi sudahlah... Toh suami saya tidak tampak butuh pembelaan. Justru terlihat begitu menikmati momen2 seperti ini. Timpalnya ringan, “Buat apa dibangun, Lik. Saya kan kerjanya di Jakarta. Biar dipake Lik Siyam aja buat mbangun rumah kambing di situ.” “Mobilnya si A lho, Her, ...