Iltizam Syari'at
Menurut Fathi Yakan, iltizam adalah komitmen terhadap Islam dan hukum2nya secara utuh dengan menjadikan Islam sebagai siklus kehidupan, tolak pikir, dan sumber hukum dalam setiap tema pembicaraan dan permasalahan. Sebagaimana perintah Allah ta’ala dalam QS 2: 208 agar seorang mukmin masuk ke dalam Islam secara kaffah.
Iltizam secara umum dapat diklasifikasikan menjadi dua bagian, yakni terhadap syariat dan terhadap jamaah. Iltizam terhadap syariat meliputi aqidah salimah, ibadah shahihah, akhlaq hamidah, dakwah wal jihad, syumul wa tawazun. Sedangkan iltizam erhadap jamaah meliputi bai’ah, ansyitah, wadzifah, infaq, qararat, dan taat kepada pemerintah.
Iltizam terhadap aqidah salimah, aqidah yang sehat, bersih, dan murni terbebas dari segala unsure nifaq dan kemusyrikan. Daam 2: 165 disebutkan bahwa ada orang2 yang menjadikan tuhan2 selain Allah sebagai tandingan bagi Allah. Dan mereka mencintai ilah2 tandingan tersebut sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang2 berimana amat sangat dicintainya kepada Allah, dari ayat tersebut terlihat bahwa kita tidak boleh mengambil sesuatu selain Allah sebagai Tuhan yakni sesuatu yang dicenderungi, dicintai, disembah, dan mendominasi hidup kita. Demikian pula dalam segala hal prioritas cinta, kita harus meletakkan cinta kepada Allah dan kemudian jihad di jalanNya sebagai prioritas pertama dibanding dengan orang tua, anak, suami/ istri, kerabat, harta perniagaan, atau rumah kediaman (QS 9: 24), seperti nampak pada keikhlasan para muhajirin meninggalkan segala-galanya yang ada di Mekkah dan keridhoan para sahabat Anshor untuk menolong mereka. Bagi mereka ridho Allah dan RasulNya di atas segala2nya.
Beriltizam atau berkomitmen terhadap ibadah yang shahihah dan istimror (kontinyu). Seorang a’dha sebagai muslim memiliki kewajiban untuk melakukan ibadah shahih terbebas dari segala bid’ah dan kurafat. Dan ia terikat kepada kewajiban tersebut. Sayid Quthb pernah mengatakan bahwa kualitas iltizam seseorang pertama2 diukur dari komitmennya terhadap sholat baik dari segi ketepatan waktu maupun kekhusyuannya. Shalahuddin Al Ayyubi, pahlawan pembebasan Al-Quds selalu memantau di malam hari sebelum perang siapa2 saja yang tendanya terang karena menegakkan sholat malam dan tilawah Qur’an dan mereka itulah kemudian yang akan diberangkatkan ke medan jihad keesokan harinya. Dan ada seorang ulama salafus shaleh yang memimpikan Junaid Al Baghdadi setelah ia wafat, ketika ditanya apa yang diperhitungkan Allah kepadanya, ia ternyata menjawab, ”hilang semua amalku tak ada yang memberi manfaat kecuali beberapa rakaat di waktu malam. Hal ini menunjukkan bobot nilai shalat tahajud.”
Memiliki komitmen atau beriltizam kepada akhlak hamidah (akhlak terpuji). Akhlak hamidah jelas harus dimiliki oleh seorang a’dha yang beriltizam. Dan akhlak hamidah yang dimaksud tentu saja akhlak yang islami dan Qurani. Sebagaimana Rasulullah SAW diutus untuk menyempurnakan akhlak manusia dan dipuji Allah sebagai orang yang berbudi pekerti agung (QS 68:4). Aisyah RA mengatakan bahwa akhlak beliau adalah Al-Qur’an. Artinya jika ingin melihat bagaimana Al-Quran dijabarkan secara konkret dalam sikap, perilaku, dan tindak-tanduk di segala aspek kehidupan, lihatlah diri Rasulullah. Rasulullah boleh dikatakan ”the living Quran”. Bila seorang da’i memiliki akhlak yang islami, ia akan mendapat manfaat antara lain bahwa dirinya patut menjadi teladan. Akhlak terpujinya itu juga menjadi daya tarik dakwah dan dirinya juga akan selalu terhindar dari fitnah. Rasulullah SAW, misalnya pernah dikatakan dukun, tukang sihir, gila, dan sebagainya, tetapi akhirnya fitnah-fitnah itu terlepas dengan sendirinya melihat keutamaan pribadi Rasulullah SAW. Begitu pula fitnah keji berupa tuduhan zina terhadap ummul mukminin, Aisyah RA, yang dikenal dengan peristiwa ”haditsul ifki”. Beliau akhirnya mendapatkan pembelaan langsung dari Allah dalam surat An-Nur.
Komit atau memiliki iltizam terhadap dakwah wa jihad. Seorang a’dha yang memiliki komitmen terhadap jamaah dengan harakah, tentu harus memiliki iltizam terhadap dakwah dan jihad. Dakwah dan jihad memang tidak bisa dipisahkan satu sama lain seperti dua sisi mata uang. Dakwah adalah upaya untuk meraih keberuntungan di sisi Allah dengan jalan menyeru pada kebaikan, menyuruh orang berbuat ma’ruf, dan mencegah yang mungkar (QS 3:104). Sedangkan keutamaan jihad sudah tidak diragukan lagi. Bahkan dalam sebuah hadits Rasulullah SAW bersabda, ”Barangsiapa yang tidak pernah melakukan jihad dan tidak pernah berniat berjihad, maka matinya dalam keadaan jahiliyah, jihad memang dapat dilakukan dalam berbagai bentuk seperti jihad bil mal, bil lisan, dll, namun jihad tertinggi adalah qital. Ada konsekuensi logis ketika seorang beriltizam pada jihad yakni ia juga harus beriltizam terhadap segala sesuatu yang merupakan persiapan untuk itu seperti tarbiyah takwiniah yang istimrar, dll.
Beriltizam atau berkomitmen terhadap syumul wa tawazun. Dienul Islam ajaran yang syamil (integral, komprehensif) dan mutakamil (utuh) serta mutawazinah (seimbang). Pendek kata, Islam adalah agama yang sempurna dan diridhai Allah (QS 3:19, 5:3). Sebagaimana alam semesta diciptakan sempurna, tidak ada kekurangan, dan dalam harmoni tawazun seperti dalam QS 55:7-9, maka manusia pun bagian dari alam semesta diciptakan Allah dalam keadaan sebaik-baik rupa. Umat Islam juga dikatakan sebagai umat wasatha/pertengahan. Ajaran sarat dengan kesyumuliahan dan ketawazunan, misalnya ajaran Islam menyentuh seluruh aspek kehidupan mulai dari hal sepele sa,pai yang paling berat dn kompleks. Islam melarang manusia kikir, tapi juga tidak membolehkan berlaku boros, israf atau melakukan kemubadziran. Jadi seorang a’dha dalam iltizamnya terhadap syari’ah harus memiliki komitmen pada syumuliatul dan ketawazunan Islam.
... bersambung ke iltizam jamaah...
Beriltizam atau berkomitmen terhadap ibadah yang shahihah dan istimror (kontinyu). Seorang a’dha sebagai muslim memiliki kewajiban untuk melakukan ibadah shahih terbebas dari segala bid’ah dan kurafat. Dan ia terikat kepada kewajiban tersebut. Sayid Quthb pernah mengatakan bahwa kualitas iltizam seseorang pertama2 diukur dari komitmennya terhadap sholat baik dari segi ketepatan waktu maupun kekhusyuannya. Shalahuddin Al Ayyubi, pahlawan pembebasan Al-Quds selalu memantau di malam hari sebelum perang siapa2 saja yang tendanya terang karena menegakkan sholat malam dan tilawah Qur’an dan mereka itulah kemudian yang akan diberangkatkan ke medan jihad keesokan harinya. Dan ada seorang ulama salafus shaleh yang memimpikan Junaid Al Baghdadi setelah ia wafat, ketika ditanya apa yang diperhitungkan Allah kepadanya, ia ternyata menjawab, ”hilang semua amalku tak ada yang memberi manfaat kecuali beberapa rakaat di waktu malam. Hal ini menunjukkan bobot nilai shalat tahajud.”
Memiliki komitmen atau beriltizam kepada akhlak hamidah (akhlak terpuji). Akhlak hamidah jelas harus dimiliki oleh seorang a’dha yang beriltizam. Dan akhlak hamidah yang dimaksud tentu saja akhlak yang islami dan Qurani. Sebagaimana Rasulullah SAW diutus untuk menyempurnakan akhlak manusia dan dipuji Allah sebagai orang yang berbudi pekerti agung (QS 68:4). Aisyah RA mengatakan bahwa akhlak beliau adalah Al-Qur’an. Artinya jika ingin melihat bagaimana Al-Quran dijabarkan secara konkret dalam sikap, perilaku, dan tindak-tanduk di segala aspek kehidupan, lihatlah diri Rasulullah. Rasulullah boleh dikatakan ”the living Quran”. Bila seorang da’i memiliki akhlak yang islami, ia akan mendapat manfaat antara lain bahwa dirinya patut menjadi teladan. Akhlak terpujinya itu juga menjadi daya tarik dakwah dan dirinya juga akan selalu terhindar dari fitnah. Rasulullah SAW, misalnya pernah dikatakan dukun, tukang sihir, gila, dan sebagainya, tetapi akhirnya fitnah-fitnah itu terlepas dengan sendirinya melihat keutamaan pribadi Rasulullah SAW. Begitu pula fitnah keji berupa tuduhan zina terhadap ummul mukminin, Aisyah RA, yang dikenal dengan peristiwa ”haditsul ifki”. Beliau akhirnya mendapatkan pembelaan langsung dari Allah dalam surat An-Nur.
Komit atau memiliki iltizam terhadap dakwah wa jihad. Seorang a’dha yang memiliki komitmen terhadap jamaah dengan harakah, tentu harus memiliki iltizam terhadap dakwah dan jihad. Dakwah dan jihad memang tidak bisa dipisahkan satu sama lain seperti dua sisi mata uang. Dakwah adalah upaya untuk meraih keberuntungan di sisi Allah dengan jalan menyeru pada kebaikan, menyuruh orang berbuat ma’ruf, dan mencegah yang mungkar (QS 3:104). Sedangkan keutamaan jihad sudah tidak diragukan lagi. Bahkan dalam sebuah hadits Rasulullah SAW bersabda, ”Barangsiapa yang tidak pernah melakukan jihad dan tidak pernah berniat berjihad, maka matinya dalam keadaan jahiliyah, jihad memang dapat dilakukan dalam berbagai bentuk seperti jihad bil mal, bil lisan, dll, namun jihad tertinggi adalah qital. Ada konsekuensi logis ketika seorang beriltizam pada jihad yakni ia juga harus beriltizam terhadap segala sesuatu yang merupakan persiapan untuk itu seperti tarbiyah takwiniah yang istimrar, dll.
Beriltizam atau berkomitmen terhadap syumul wa tawazun. Dienul Islam ajaran yang syamil (integral, komprehensif) dan mutakamil (utuh) serta mutawazinah (seimbang). Pendek kata, Islam adalah agama yang sempurna dan diridhai Allah (QS 3:19, 5:3). Sebagaimana alam semesta diciptakan sempurna, tidak ada kekurangan, dan dalam harmoni tawazun seperti dalam QS 55:7-9, maka manusia pun bagian dari alam semesta diciptakan Allah dalam keadaan sebaik-baik rupa. Umat Islam juga dikatakan sebagai umat wasatha/pertengahan. Ajaran sarat dengan kesyumuliahan dan ketawazunan, misalnya ajaran Islam menyentuh seluruh aspek kehidupan mulai dari hal sepele sa,pai yang paling berat dn kompleks. Islam melarang manusia kikir, tapi juga tidak membolehkan berlaku boros, israf atau melakukan kemubadziran. Jadi seorang a’dha dalam iltizamnya terhadap syari’ah harus memiliki komitmen pada syumuliatul dan ketawazunan Islam.
... bersambung ke iltizam jamaah...
Assalamu'alaykum wr.wb
BalasHapusAfwan Ukh, mana ya tulisan mengenai iltizam jamaahnya??
Salam kenal Bagus@jambi
wa'alaykumussalam wr wb. iya iya.. hiks.. belum posting lagi ttg iltizam jamaah.
Hapus