Sahabat; Antara Kesturi dengan Uburpan



Ribuan tahun yang lalu, Musa memohon kepada Rabbnya untuk menjadikan Harun sebagai sahabat setianya. Yang akan menjadi peneguh, menjadi penguat, untuk senantiasa bertasbih dan mengingat Allah, bersama. Ia, Musa, adalah seorang Ulul Azmi, yang tidak diragukan keteguhan dan kesabarannya. Ia, Musa, adalah seorang Ulul Azmi, tapi seolah-olah ia tidak merasa mampu istiqomah dengan sendirian. Maka ia pinta sebuah rahmat bernama : Sahabat.

Menjadi lebih kuat memang, lebih teguh. Tapi apakah kita Musa? Atau kita justru adalah seorang Uqbah? Sungguh sahabat bisa menuntun ke jalan selamat, tapi bukan hal dusta jika dikatakan yang paling sering menghancurkan seseorang adalah sahabatnya. Jadi apakah kita Musa, yang bersahabatkan seorang Harun? Atau apakah Uqbah, yang bersahabatkan Abu Jahal?

Perkenalkan seorang Uqbah bin Mu’ith. Ia adalah seseorang yang sayangnya memilih Abu Jahal sebagai sahabat karibnya. Percayakah,  Uqbah sempat mengikuti majelis Rasulullah, bahkan ia mengucapkan salam kepada manusia agung tersebut. Hatinya terpanggil kepada islam. Begitu Abu Jahal punya suatu urusan pergi ke luar Mekkah, maka pengaruh Abu Jahal benar2 sirna pada dirinya. Saat itu ia benar2 mempertimbangkan diri untuk masuk Islam. Maka begitu Abu Jahal pulang, Uqbah berkata, “Besok aku ingin pergi kepada Muhammad untuk masuk Islam.”

Bukan Abu Jahal jika tidak berkata, “Demi  persahabatan kita, hendaklah hari ini engkau pergi ke Muhammad dan ludahi wajahnya. Agamamu atau sahabatmu?” Dan seribu sayang, Uqbah seperti kebanyakan manusia yang lemah terhadap dunia. Seketika ia berubah! Uqbah yang nyaris bersyahadat, Uqbah yang nyaris kita sebut juga sebagai Sahabat Rasul, sungguh nyaris, justru kini kita kenal sebagai manusia yang pernah paling tidak sopan kepada Rasulullah. Ingat, ia adalah Uqbah bin Mu’ith.

Apa yang dilakukan Uqbah? Ia datangi Rasulullah yang sedang ibadah di Ka’bah, lantas ia cekik Rasulullah dengan sorbannya. Dengan sangat kuat, hingga Rasulullah terlutut. Di lain hari, dengan sangat niatnya, demi persahabatannya, Uqbah rela menggotong2 usus bangkai unta yang sangat bau dan ketika ia melihat Rasulullah, ia lempar, lempar, dan lemparkan hingga tak tersisa. Sampai2 Rasulullah baru bisa berdiri ketika putrinya datang dan menyingkirkan kotoran2 tersebut dari punggungnya. Ialah Uqbah. Seseorang yang celaka karena sahabat.

Maka benarlah kalimat ini, 
“Perumpamaan teman duduk yang baik dan teman duduk yang buruk adalah seperti pembawa minyak kesturi dan peniup uburpan.” 
Betapa malang, Uqbah yang hingga hilang hayat, tetaplah ingkar. Tapi betapalah untung, seorang Iyasy ibnu Abu Rabi’ah, yang karena mengingat sahabatnya, ia wafat sambil tetap memegang imannya.


Ialah Umar bin Khattab, sahabat baik Iyasy, yang tidak bosan dan tidak hilang usaha untuk menyelamatkan sahabatnya dari kembali mungkar. Bagaimanakah? Setelah keduanya hijrah dari Mekkah, diutuslah seseorang kepada Iyasy, “Ibumu akan meninggal dunia! Ia tidak akan masuk rumah dan tidak akan mandi. Ia akan terus berterik matahari sampai kau kembali padanya.” 

Iyasy yang sangat sayang dengan ibunya langsung terenyuh, tapi Umar meneguhkannya dengan unik, “Apa yang kau khawatirkan? Esok atau lusa pasti ia tidak suka dengan kotoran dan kutu yang menempel di tubuhnya, maka ia akan mandi. Esok atau lusa pun ia akan merasa penat di bawah terik, maka ia akan menuju naungan.”

Tapi Iyasy masih jeri, maka dengan tegas Umar berkata lagi, “Jangan pulang, Iyasy! Jika kau pulang, kau akan berpaling dari Islam.” Ternyata betapa penting bagi seseorang untuk bisa berkata “tidak dan jangan” kepada sahabatnya. Tidak mudah untuk bisa seperti Umar. Tidak semua orang bisa. Banyak seseorang membiarkan sahabatnya berkubang dalam maksiat dengan dalih, “Biar ia melakukan apa saja asal sahabatku itu bahagia.” 

Tapi bagaimana pun Umar berargumen, Iyasy tetap ingin pulang... Maka kembali Umar berkata, “Iyasy, ini untaku. Mudah2an ia bisa mengingatkanmu sehingga bisa kembali lagi suatu hari nanti.” Masya Allah... Nilai unta kala itu seharga mobil zaman sekarang. Betapa sikap Umar sangat tinggi nilai keteladanannya. Ia rela berikan sesuatu miliknya yang sangat berharga demi jalan selamat yang nyata bagi sahabatnya.

Maka pulanglah Iyasy ke keluarganya. Dan benarlah. Ia disiksa oleh keluarganya. Dipaksa ingkar. Dan nyaris saja! Nyaris saja ia berpaling dari Islam. Tapi unta Umar menjadi kenangan dan pengingat baginya. Pengingat kepada iman dan Dia, yang Satu yang harus ia teguh imani.

Maka siapakah kita, Iyasy yang bersahabatkan Umar? Atau Uqbah yang bersahabatkan Abu Jahal?

Maka siapakah kita, Umar bagi Iyasy? Atau justru Abu Jahal bagi Uqbah?

Didedikasikan untuk dr. Lestari Handayani, sahabat baik saya. Namun, tulisan ini tidaklah berarti apa2 jika dibandingkan dengan unta Umar untuk Iyasy. 

Keep being good di tempat barumu, Les! Oh Allah, i do love every single touch You have made into my life. Including having Lestari as my best friend. Alhamdulillah... Semoga selamanya :)

Komentar

  1. Mulkiii...makasihh banyak atas tulisanya...terharu bacanya...ternyata ini kado yang kamu janjikan sebulan yg lalu...makasih ya mul for thia beautiful gift...thanks to Allah gives you in my life,my dear friend ^_^

    BalasHapus
  2. wah..udah nggak orange lagi ya..hehe

    sahabat yang baik ,barangkali seperti pohon senantiasa ada teduh buat kelu..

    BalasHapus
  3. Membaca postingan ini aku langsung mode on pada muatannya. Bagus dan inspiratif. Padahal biasanya kalo baca postinganmu mbak, aku ketawa dulu ampe ngakak-ngakak. Habis itu baru baca lagi untuk memahami isinya.

    BalasHapus

Posting Komentar

terima kasih sudah membacanya :D dan terima kasih sudah mau komen. hehe...

Postingan populer dari blog ini

Resume Buku Personality Plus

Lagi Galau?

Mengelola Keuangan Keluarga #4 : Tabel Pemasukan - Pengeluaran