Ga Nyangka Bisa Curhat Sepolos Ini
Aku baru aja liat2 foto metamorfosisku; dari SD hingga sekarang. Ada yang tidak berubah; aku tetap tidak punya alis. Hihi. Tapi ternyata, lebih banyak yang berubah; pipiku yang semakin cempluk dan gayaku berpakaian.
Zaman SD SMP, aku tomboy pisan. Sukanya pakai kaos gombrong polos atau motif garis2. Pakai celana jeans atau kargo. Gasuka pakai sepatu apapun, pokoknya in love banget sama sandal jepit. Jilbab? Pake! Tapi bagian depan jilbabnya, aku iket ke belakang. Kalo foto, seringnya gaya jempol telunjuk kelingking, alias gaya metal. Kalo gaya jumpalitan ada, mungkin dijabanin juga. #kelewatlincah
Zaman SMA, masih tomboy sih. Tapi sudah keliatan agak manis gegara sudah pensiun pakai celana, udah jadi rok-er sejati ceritanya. Jilbab juga udah ga diiket2 lagi, udah mengulur hingga perut. Udah mulai akrab sama sepatu, tapi yang model sneakers; low or high sneakers. Ga usah tanya punya flat shoes atau sepatu cewek lainnya. Jawabannya pastilah enggak punya. Atasannya? Tetep kaos gombrong polos atau motif stripes. No bunga2. Eerrgh.. Ga usah dibayangin deh betapa "stylishnya" aku waktu itu, hihihihi :) intinya sih, waktu itu ada cewek tomboy yang lagi belajar agar berpenampilan syar'i.
Zaman awal kuliah masih kaya zaman SMA. Selenge'annya masih kental banget. Sampe pernah ditanya sama seorang teman laki2, "kamu tuh akhwat bukan sih?" sepenangkapku, beliau bertanya dengan polos (dan tulus). Ga ada tendensi ngejek, nyinyir, atau sinis. Bener2 gegara ada pemandangan emejing: ada cewek yg stylenya "brutal" di antara cewek2 berpenampilan anggun, manis, juga sholehah. Hihi.
Semester 5 ke atas, mulai kenal motif bunga2, warna2 yg eye catching, bordir kecil2 yang manis, flat shoes, dan model2 pakaian yang cute dan unik. Jilbab tetap lebar, dengan berbagai warna dan motif. Bener2 jadi masa2nya ngekspresiin diri" sejujur2nya". Dan taukah? Aku ga sungkan untuk memakai warna2 yang berani; orange, kuning, shocking pink, lime, dll. Di kala cewek jilbaban di kampusku bakal mikir satu juta kali untuk memakai warna yang seberani itu. Pemakluman mereka, "akhwat jakarta emang beda."
Setelah menikah, selera dan keberanian untuk memakai warna yang" ekspresif"pun masih ada, walau di saat yang sama pun aku mulai melirik manisnya warna2 pastel. Lagipula, sudah ada suami yang setia menjadi fashion comentatorku, sekaligus jadi rem yang yaa.. Kadang pakem, tapi kadang enggak.
"Sayang... Emang warnanya ga terlalu mencolok, ya?"
"Lho.. Kamu kok kaya kue lapis. Hihihi..."
"Sayang.. Jilbabnya pake yang ini aja.." sambil nyodorin warna sand-semen favoritnya.
Seleraku saat itu tetap pada jilbab yang "unik". Entah modelnya asimetris atau rumbai atau apalah. Aku senang pakai baju yang "beda" bukan untuk dipuji, disenangi, atau tampak gaul. Bukan banget. Bukan untuk dilihat orang. Ga bokis deh. Malah cenderung i dont care what people said about me. Mau dibilang nabraklah, mau baguslah, mau anehlah, mau unyulah, dan lahlah yang lain, aku ga terlalu peduli. Yang penting aku nyaman. Dan inilah aku. Aku ya kaya gini. Saat itu aku berfikir, ini bentuk penghargaanku atas diriku sendiri; tampil apa adanya aku, sejujur2nya ekspresi, asal tidak melanggar syariat. Bagaimana dengan harga? Yang unyu cute unik dan ga pasaran, biasanya memang lebih pricey :(
Tapi percaya ga percaya, sekarang seleraku sudah banyak berubah. Sudah mirip dengan selera suamiku dalam berpenampilan; tidak mencolok. Sedari dulu, aku tau, bahwa pakaian adalah identitas. Adalah pelindung. Dan bukan hiasan dan penghias. Aku berfikir-fikir lagi, aku merasa2 lagi, aku meraba2 lagi..
Dan pertama, kuputuskan untuk mengurangi jilbab2ku dengan menjualnya (harga 50-70% harga beli). Aku memang belum kuat hati utk menyumbangkan jilbab2ku yang itu. Karena mengingat harganya dan ada beberapa yang baru sekali duakali kupakai. Alhamdulillah, yang kupreloved terjual habis :) jazaakillahu khayran teman2 yg sudah membelinya, semoga bermanfaat :) bye bye jilbab orangeku, kuningku, pinkku, merah cabeku, limeku, biruku, unguku, motif bungaku, motif stripesku... Sekarang perasaanku lebih lega dibanding sebelum kujual jilbab2 itu. Perasaan lebih lega ini seperti keadaan lemariku sekarang. Hihi.
"Kenapa?" Jelas, suamiku adalah orang pertama yang bertanya. Beliau yang tau pasti betapa semarak dan ekspresifnya aku di segala aspek kehidupan #halahapadeh. "Gapapa, Nda. Ingin aja..." saat itu aku masih utterly speechless.
Sekarang sepertinya aku lebih bisa mengeja alasannya. Aku tau bahwa pakaian ini adalah jati diri, adalah pelindung, dan bukan hiasan. Bukannya aku sudah tau sedari dulu? Iya, aku sudah tau sejak lama. Tapi inilah interpretasiku saat ini. Aku ingin pakaianku benar2 semata2 menjadi fungsinya. Maka tidak perlu berjumlah sangat banyak, asal cukup dan tersedia sesuai dengan kondisi. Maksudnya, baju untuk olahraga tentu berbeda dengan baju untuk praktik, baju untuk ke pasar tentu berbeda dengan baju untuk kondangan. Jumlah untuk tiapnya, rasanya tidak perlu terlalu banyak.
Terus kalau bosan bagaimana? Iya, aku tau aku bisa saja bosan atau tertarik memiliki baju baru. Untuk sisi ini, aku wanita tulen. Baju yang sudah bukan seleraku lagi (bosan) bisa kupreloved, atau kutawari ke adik atau teman, atau kusumbangkan. Asal tidak jadi tumpukan tak tersentuh saja di lemariku.
Berarti aku sudah ga unyu2 lagi pakaiannya, udah ga seru lagi? Kalo kita ketemu, bajuku masih sama kok seperti dulu. Ga beda. Boros kali kalo harus beli baru lagi. Aku cuma "ngalemin" dari jilbabnya aja. Jilbab yang kupunya sekarang cenderung warna2 netral; abu, coklat, hitam. Ada juga sih beberapa warna pastelnya. Dan semua polosan. Pokoknya yang kupunya sekarang bukan warna yang bright dan mencolok.
Aku sekarang sedang belajar untuk adil kepada pakaian, memperlakukannya sesuai dengan fungsinya. Selain untuk melindungi auratku, semoga pakaian ini juga menjadi "pelindungku" dari komentar2 dan pandangan orang lain. Aku sedang males kalo ada komentar:
"mulki unyu deh pake jilbab itu.."
"kamu mah cocok ki pake yang begitu, nah kalo aku?"
Dan aku juga mau terlindung dari komentar,
"ya ampun, tu cewek acak2an banget sih pake baju."
"ih.. Ga keurus banget sih tu cewek. Bajunya lusuh dekil begitu."
Makanya, walau dengan pakaian yang tidak "mencolok", aku juga harus tetap tampil patut dan sesuai. Cukup ciamiklah, ga kurang dan ga lebih. Ga boleh sembrono dan ga peduli sama penampilan. Aku tetap harus menjaga kehormatanku dan kehormatan suamiku. Intinya... Aku sedang tidak ingin banyak "dikomentari" karena pakaian, baik karena bagusnya atau buruknya. Karena itu tampak luar banget. Aku sedang berusaha membenahi hati.
Ohya, aku memang ingin belajar untuk lebih "sederhana", tapi bukan berarti aku ga ada stuff untuk perawatan diri. Aku tetap ada obat muka, ada nano, ada lulur, ada obat ketek, tonic dan vitamin rambut, dll. Tapi no perfume aja (padahal isi perfumenya masih banyak nih..). Karena bagaimanapun juga, kita tetap harus terawat sebagai tanda syukur kepada Allah. Untuk nyenengin suami juga, kan? Masa iya saking "sederhananya", muka kita jadi kusam, kucel, jerawatan? Badan kita jadi asem? Rambut kutuan ketombean? Kan justru ga boleh :) jadi, tetap harus perawatan asal tidak berlebihan.
Dan taraaaa.. Jadi intinya apaaa? Hihihi, intinya aku lagi mau curhat. Dan maaf ya jadi panjaaang banget... Mungkin ini bukan hal spesial buat teman2 yg lain, hal biasa aja. Akunya aja yang waktu belajarnya spending long times. Mohon doanya, ya :)
Semoga Allah beri hidayah dan taufiq untuk kita semua.
mba mulki.... kok cerita2 sd-sma nya miripan hahaha, cuma ya ampe sekarang aku ke kantor masih bersendal gunung ria dan ber ransel sport, klo mbaknya ada yg nanya "akhwat apa bukan" aku ada bapak2 nanya temen seasrama "azizah itu beneran perempuan bukan?" haha
BalasHapus