Surat dari Mas Dani, si Orangeman
Orangeman a.k.a DHM :P |
Keputusan menikah dengan pria ganteng yang sekarang menjadi suami saya, membuat saya mendapat beberapa surat. Kemarin sudah saya pos yang dari Citra. Kali ini dari Mas Dani. Mas Dani adalah seorang pujangga yang kesasar di Kementrian Keuangan. Haha. Beliau sahabat kental suami; satu kos ketika kuliah 3 tahun dan satu rumah lagi ketika penempatan di Makassar. Yaa... begitulah. Belum bisa dikatakan mengenal baik seseorang ketika kita belum pernah menginap atau melakukan safar dengannya. Sedangkan Mas Dani dan suami? 6 tahun bersama, tak terpisahkan :) Oya, mas Dani juga sama2 suka warna oren, loh. Oren emang keren!
-------------------------------------------------------------------------------------------
Untuk calon adik iparku,Banyak orang bilang saya seharusnya seperti dia. Banyak juga yang membandingkan saya dengan dia. Semuanya mempunyai pendapat yang sama, saya tidak ada apa-apanya dibanding dia. Suatu hal yang ketika dia mendengarnya selalu membuatnya marah. Dia selalu berpendapat bahwa kita tidak berada dalam satu kompetisi yang sama sehingga tidak bisa dibuktikan dia lebih baik dari saya. Jawaban yang selalu saya tertawakan. Dilihat dari manapun memang begitu kok. Begitu selalu jawaban saya, dan sudah bisa saya tebak dia pasti tambah marah tidak jelas.Saya seharusnya iri dengan dia. Begitu mungkin yang ada dibenak orang-orang. Tidak salah memang ketika pikiran orang sudah terjebak dalam naskah-naskah kacangan sinetron jaman sekarang. Tapi tidak. Saya, terlepas dari “hancurnya saya”, masih terjebak dalam kisah-kisah fantasi serupa LOTR dan Game Of Throne tentang sihir dan ksatria dengan kode-kode kehormatan yang menjunjung tinggi tentang arti menepati janji dan kesetiaan kepada kawan seperjuangan. Iri bukan bagian itu. Seperti keyakinan saya itu, dia juga tahu pasti tentang hal tersebut. Tidak perlu kata-kata. Karena entah dia itu alien atau penyihir, dia selalu bisa membaca pikiran saya. Dia tahu wanita mana yang sedang menikam hati saya tanpa perlu curhatan panjang. Dia tahu saya sedang berkutat dengan keinginan menenteng parang tanpa saya perlu berteriak garang. Dia juga tahu saat saya menangis tanpa perlu saya meneteskan airmata.Ketika kisah fantasi dan segala tentang code of honour terlihat mengada-ada baiklah saya berikan satu hal lagi, karena kita berjalan pada sejarah yang sama dengan jalan yang berbeda. Sejarah saya adalah sejarah dia. Dia tahu pasti kenapa saya berjalan lurus dan kenapa saya harus berbelok ke kiri ketika menemui sebuah perempatan. Hidup adalah pilihan. Pilihan setiap orang mempunyai alasan. Alasan akan berkubang dalam sejarah panjang untuk menjadi sekedar sebuah pembenaran atau alasan itu sendiri. Sekali lagi dia tahu pasti.Satu hal yang ingin saya ungkapkan dengan jelas sekarang, dengan kata-kata, bahwa saya tidak pernah iri. Percaya dengan saya? Jangan sepenuhnya, karena sekarang saya iri dengan dia.Saya tidak iri ketika dia bercerita dengan penuh semangat, seperti dia biasanya ketika bercerita, tentang tempat-tempat asing yang dia jelajahi, canberra avenue, orchard road, dataran tinggi NZ dimana pernah para ksatria JRR Tolkien berlarian disana, dan tanah-tanah asing lainnya. Tapi saya iri ketika dia bisa bepergian dari satu hati ke hati yang lain dengan bebas untuk kemudian menetap pada satu hati yang indah. Sementara saya masih terjebak memunguti serpihan-serpihan hati yang sama untuk sekian lama.Saya tidak iri ketika dia belajar menyelam dan menceritakan keindahan bawah laut yang begitu mempesona. Tapi saya iri ketika suatu saat dia kembali dari menyelam dan menemui saya sambil membawa sekarung batu. Ditatanya batu-batu itu didepan saya sambil bercerita bagaimana dia menyelam di danau dan memunguti batu-batu didasarnya yang dulu pernah dia lempar. Tak lupa dia rapikan juga lubang-lubang dipasir dasar danau bekas batu-batu tersebut. Ah, danau itu. Saya ingat danau itu. Tentang danau yang tidak sama lagi ketika kita melempar batu kedalamnya. Riaknya mungkin akan tenang setelah sekian lama, dan terlihat sama seperti sebelum kita melempar batu. Tapi dasarnya tidak sama lagi, ada batu yang sebelumnya tidak ada. Saya langsung berpikir apa yang telah saya lakukan? Saya ingat benar saya juga melempar banyak batu ke sebuah danau dan yang saya lakukan sampai sekarang hanya memandang permukaannya yang tenang sambil sesekali membuatnya beriak lagi dengan batu-batu yang saya lempar.Terakhir, saya tidak iri ketika ada gelar master menemani namanya. Baru satu. Andai seribu pun saya tidak iri. Tapi saya iri ketika ada bidadari yang memilihnya. Menemani sepanjang sisa hidupnya.Semarang, dini hari ditemani Eyes On Me-nya Faye Wong
hooooo bergetar nih
BalasHapusjadi yang batu didasar danau itu tentang tanggung jawab mengembalikannya ke keadaan semula yah dari jejak2 yang pernah ditinggalkan. . .MasyaAllah
dan danau itu. . .apakah di ibaratkan hati?? hmmm atau kehidupan??
BalasHapuskirain ada apa dengan foto itu..
BalasHapus==" fotonya frontal.hha
surat yang mmm.. ahh gak tau menggambarkannya.hha
Masya Allah keren banget ukhtii. Terutama yang kata-kata ini: "Hidup adalah pilihan. Pilihan setiap orang mempunyai alasan. Alasan akan berkubang dalam sejarah panjang untuk menjadi sekedar sebuah pembenaran atau alasan itu sendiri."
BalasHapusPas banget lagi galau.hehe
salam kenal dan makasih ya sudah follow blog saya. :)
-TweedleDew-
wuahhh bisa ngomong apa ya???sebuah surat..privasi banget..tapi brmakna dalem..
BalasHapus@,kaito : yg tau maksud sbnrnya penulisnya :)
BalasHapus@uchank : haha. fotonya serem ya..
@puji : ini tdk privasi. org2 tsbt mejeng surat ini di note fbnya. lalu diizinksn utk mentas di sini.
@dewi : sm2, mksh juga sdh brkunjung :)
wah suaminya kaka kelas saya ternyata. semoga saya bisa mengikuti jejak kesuksesannya. :))
BalasHapusNgeri abis..
BalasHapuskunjungan ..
BalasHapussalam sukses selalu ..:)
baru tau mas dani bisa nulis bagus, saingan sama mbak mulki nih... salut buat mas dani.. salut buat ide mbak mulki untuk mem-post-kan artikel ini....
BalasHapusSTK
curhatan seorang sahabat.. :D
BalasHapussalam kenal mbak mulki