Mutarobbi : Yang Sangat Berperan
Seorang senior berpesan, “Ke adik2 binaan (yang selanjutnya akan disebut adik saja), kamu mesti punya targetan per individu, Mul.” Bener banget. Adik2 saya yang baru beragam. Keberagamannya tidak usah saya jabarkan di sini, yang jelas, saya masih berusaha tanya sana-sini tentang mereka. Insya Allah tidak gossip kok ;D dengan memiliki gambaran tentang mereka, diharapkan saya jadi punya sketsa proyeksi untuk mereka. Siapa mereka sekarang, goal standard ke depannya bagaimana, dan best treatmentnya seperti apa.
Sedang ingin berbicara tentang hikmah yang bisa diambil dari “menemani adik2” ni. Sungguh banyak! Pertama, menilai seberapa sungguh2nya kita atau seberapa carut marutnya kita beraktivitas. Darimana? Kita bisa lihat dari persiapan kita kala akan bertemu mereka. Apakah baru dipersiapkan sejam sebelum bertemu, dipersiapkan saat break kuliah saja, atau memang sudah diskenariokan sebaik2nya. Yang suka dilupakan oleh para kakak adalah mereka pun butuh sesuatu yang fresh! Mereka sama lelahnya dengan kita. Akankah mereka disuguhkan dengan wajah lelah kita juga? Akankah dijejali panah2 beracun tanpa adanya dinamika penyampaian? Apakah kita akan terus2an meminta pemakluman mereka bahwa sang kakak adalah orang yang punya banyak urusan, sehingga wajar2 saja kalau mereka wajib terima apa adanya. Sungguh kasihan mereka! Yang patut diingat, orang yang menolak untuk pertama kali bisa saja diajak lagi dengan lebih mudah, tapi orang yang mengalami kebosanan di tengah jalan lebih sulit untuk diajak lagi. Jumud atau bisa juga akan timbul perasaan telah mengetahui segala2nya dari proses tersebut. Hal ini bisa menjadi penghalang mereka untuk mengambil manfaat dari proses yang ada. Lantas mau menyalahkan mereka lagi bahwa mereka kurang menjemput hidayah?
Kedua, mereka adalah sebenar2nya guru untuk kita. Dengan membersamai mereka, sesungguhnya itu yang membuat kita ”mau ga mau” membuka kembali catatan2 kita, atau bahkan mencari referensi baru yang bahkan lebih dalam. Malu dong kalo kalah ilmunya sama adik2! Bagaimana jadinya kalau mereka menanyakan hal yang kita tidak tau? Kalau memang tidak tau, kakak yang fair akan bilang, ”kita cari bersama ya, dik. Saling informasikan.” dan itu akan memacu kita mencari lagi, sampai dapat, sampai mereka tersenyum, dan berkata, ”oke, mbak. Makasih. Saya mengerti sekarang.” Merekalah yang memotivasi agar kita cari ilmu terus dan terus, lagi dan lagi.
Ketiga, mereka seperti cermin jujur untuk diri kita. Tanpa diminta untuk mengatakan bagaimana kita, terlihatlah dari polah mereka. Seberapa berpengaruhkah kita, seberapa cerdaskah kita berkata hikmah, seberapa teladankah kita, dan seberapa2 yang lain. Mungkin akan tampak bagaimana adik yang ditemani oleh kakak yang rajin qiyamul lail atau yang tidak.
Keempat, belajar sabar dan ikhlas. Bagaimana kita ikhlas ketinggalan tentiran anatomi karena sudah kadung janji, takut mengecewakan mereka. Bagaimana kita sabar ketika mereka justru menyempatkan datang ke ulang tahun temannya walau kita sudah rela menerobos hujan datang ke tempat janjian. Sungguh banyak hal nonteoritis yang telah mereka ajarkan kepada kita. Masih banyak lagi sebenarnya, masih banyak bukti bahwa mereka sangat berperan dalam proses perkembangan diri kita.
Tanpa mereka minta, lakukanlah inovasi. Tanpa mereka tuturkan, mengertilah mereka. Tanpa mereka beri, cintailah mereka. Tanpa mereka sadari, berdoalah untuk mereka. Kitalah kakak, ibu/ayah, guru, jendral, bahkan mutarobbi (saya ga salah ketik kok) bagi mereka.
BERKEMBANG BERSAMALAH, YA!
Sedang ingin berbicara tentang hikmah yang bisa diambil dari “menemani adik2” ni. Sungguh banyak! Pertama, menilai seberapa sungguh2nya kita atau seberapa carut marutnya kita beraktivitas. Darimana? Kita bisa lihat dari persiapan kita kala akan bertemu mereka. Apakah baru dipersiapkan sejam sebelum bertemu, dipersiapkan saat break kuliah saja, atau memang sudah diskenariokan sebaik2nya. Yang suka dilupakan oleh para kakak adalah mereka pun butuh sesuatu yang fresh! Mereka sama lelahnya dengan kita. Akankah mereka disuguhkan dengan wajah lelah kita juga? Akankah dijejali panah2 beracun tanpa adanya dinamika penyampaian? Apakah kita akan terus2an meminta pemakluman mereka bahwa sang kakak adalah orang yang punya banyak urusan, sehingga wajar2 saja kalau mereka wajib terima apa adanya. Sungguh kasihan mereka! Yang patut diingat, orang yang menolak untuk pertama kali bisa saja diajak lagi dengan lebih mudah, tapi orang yang mengalami kebosanan di tengah jalan lebih sulit untuk diajak lagi. Jumud atau bisa juga akan timbul perasaan telah mengetahui segala2nya dari proses tersebut. Hal ini bisa menjadi penghalang mereka untuk mengambil manfaat dari proses yang ada. Lantas mau menyalahkan mereka lagi bahwa mereka kurang menjemput hidayah?
Kedua, mereka adalah sebenar2nya guru untuk kita. Dengan membersamai mereka, sesungguhnya itu yang membuat kita ”mau ga mau” membuka kembali catatan2 kita, atau bahkan mencari referensi baru yang bahkan lebih dalam. Malu dong kalo kalah ilmunya sama adik2! Bagaimana jadinya kalau mereka menanyakan hal yang kita tidak tau? Kalau memang tidak tau, kakak yang fair akan bilang, ”kita cari bersama ya, dik. Saling informasikan.” dan itu akan memacu kita mencari lagi, sampai dapat, sampai mereka tersenyum, dan berkata, ”oke, mbak. Makasih. Saya mengerti sekarang.” Merekalah yang memotivasi agar kita cari ilmu terus dan terus, lagi dan lagi.
Ketiga, mereka seperti cermin jujur untuk diri kita. Tanpa diminta untuk mengatakan bagaimana kita, terlihatlah dari polah mereka. Seberapa berpengaruhkah kita, seberapa cerdaskah kita berkata hikmah, seberapa teladankah kita, dan seberapa2 yang lain. Mungkin akan tampak bagaimana adik yang ditemani oleh kakak yang rajin qiyamul lail atau yang tidak.
Keempat, belajar sabar dan ikhlas. Bagaimana kita ikhlas ketinggalan tentiran anatomi karena sudah kadung janji, takut mengecewakan mereka. Bagaimana kita sabar ketika mereka justru menyempatkan datang ke ulang tahun temannya walau kita sudah rela menerobos hujan datang ke tempat janjian. Sungguh banyak hal nonteoritis yang telah mereka ajarkan kepada kita. Masih banyak lagi sebenarnya, masih banyak bukti bahwa mereka sangat berperan dalam proses perkembangan diri kita.
Tanpa mereka minta, lakukanlah inovasi. Tanpa mereka tuturkan, mengertilah mereka. Tanpa mereka beri, cintailah mereka. Tanpa mereka sadari, berdoalah untuk mereka. Kitalah kakak, ibu/ayah, guru, jendral, bahkan mutarobbi (saya ga salah ketik kok) bagi mereka.
BERKEMBANG BERSAMALAH, YA!
mbak, pernah menulis tema yg sama, di tulisan yg berjudul 'ini ramadhan ketiga kita'...
BalasHapusselamat berproses bersama mereka...
semua yg ditulis mulki, sama persis yg dulu mb pikirkan juga :)
"Bagaimana kita ikhlas ketinggalan tentiran anatomi..."
BalasHapushahahahaha....lumayan bu dokter, bikin gelinya...thanks....:p
@mbak son: iya tha, mbak? wah2.. perasaan yang memiliki mereka munkin sama smua, yah.
BalasHapus@ dr.afie: heheh, pengalaman pribadi tu, dok.